Senin, 25 April 2011

sanksi sosial

suatu hari saya ditanya oleh seseorang, hukuman untuk para koruptor itu biar bisa jera dan orang lain tidak mau melakukan tindakan yang sama sebaiknya berbentuk apa ya ??????    saya pun sempat bingung untuk menjawab pertanyaan tersebut. sepintas mungkin kita bisa dengen enteng menjawab, apalagi jika kita orang hukum, hukuman untuk para pelaku korupsi (koruptor) ya harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh negara, yaitu sesuai dengan ketentuan pasal 10 KUHP. dalam pasal tersebut seorang pelaku tindak pidana sapat dijatuhi hukuman berupa pidana pokok dan atau pidana tambahan. kedua hukuman ini pun terbagi lagi dalam beberapa bentuk hukuman.       
Pidana Pokok dapat berupa pidana mati, pidana penjara, kurungan maupun denda. Sedangkan Pidana Tambahan dapat berupa pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.
secara umum jika kita lihat, pada para koruptor yang terbukti dan telah mendapatkan hukuman hampir semuanya dipidana sesuai dengan hukuman menurut ketentuan perundang-undangan yaitu pasal 10 KUHP. Namun jika kita mengamati lebih jauh dan mendalam, apakah bentuk-bentuk hukuman yang telah diterapkan itu yang notabene sesuai dengan peraturan yang berlaku, telah membuat koruptor jera dan orang-porang lainnya mengurungkan niatnya untuk melakukan tindakan yang sama ???   
Ternyata yang kita lihat dan telah menjadi rahasia umum adalah bahwa tindakan-tindakan yang menjurus dan mengarah kepada perbuatan korupsi atau pelanggaran dan kejahatan lainnya justru tidak semakin berkurang, akan tetapi semakin bertambah dan menggunakan trik-trik baru lainnya.  
Dalam tulisan ini kita hanya mencoba menyoroti mengenai bentuk-bentuk hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku pelanggaran dan kejahatan (terpidana). ternyata segala bentuk hukuman yang tersebut di dalam KUHP tidak begitu mendatangkan manfaat bagi negara. Orang-orang lain pu tidak begitu khawatir dengan bentuk-bentuk hukuman yang ada dan berlaku saat ini. Sanksi yang ada selama ini hanya berupa sanksi hukman tetapi melalaikan tentang sanksi sosial. Sementara kita semua tentu sepakat bahwa para pelaku tindak kejahatan ataupun pelanggaran terhadap aturan-aturan yang berlaku secara otomatis juga melanggar norma-norma sosial di masyarakat, yang bahkan dapat menimbulkan efek-efek sosial ekonomi di masyarakat. Nah, inti dari apa yang kita coba angkat adalah bahwa apa dan dimana sanksi sosial tersebut ketika terjadi pelanggaran dan atau kejahatan yang berdampak pada kehidupan bermasyarakat ???   
Sebagai orang yang masih awam tentang hukum dan ilmu hukum, penulis mencoba untuk mengusulkan kepada siapa saja yang punya dan keinginan untuk memajukan hukum serta penegakan keadilan. BAGAIMANA SEANDAINYA PARA PELAKU KEJAHATAN dan PELANGGARAN DIHUKUM SESUAI ATURAN DITAMBAH SANKSI SOSIAL BERUPA PENEMPATAN HUKUMANNYA DI TENGAH_TENGAH MASYARAKAT. Dalam artian mereka dapat disaksikan langsung oleh masyarakat umum dengan mata kepala. Sebagai contoh, bagaimana jika para koruptor yang terbukti di pengadilan bersalah dikurung atau di penjara di tempat keramaian umum semisal di Mall

Kamis, 21 April 2011

Kumpulan foto way to MAKASSAR

in Sidrap, Indonesiaflower in SIDRAPin SIDRAP,INDONESIAin Sidrap, Indonesiain Sidrap, Indonesiaflower in SIDRAP,INDONESIA
IMG098IMG080IMG073IMG047IMG043IMG039
Foto0131Foto0136in CAMBA, Marosin CAMBA, Marosin CAMBA,MAROSin BAROMBONG,MAKASSAR

makalah hukum pidana


Bab I  PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Sejak manusia dilahirkan, manusia selalu bahkan setiap saat berhubungan dengan sesame manusia dalam suatu komunitas yang sering disebut dengan masyarakat. Mula-mula manusia berhubungan dengan keluarganya yang dengan berjalannya waktu, tahap demi tahap manusia beranjak dewasa yang menuntut mereka untuk hidup dan bergaul lebih luas, tidak hanya dengan keluarga sendiri akan tetapi dengan manusia lainnya. Hal ini akan menimbulkan kesadaran dalam diri manusia bahwa dalam kehidupan bermasyarakat  sangat dibutuhkan aturan ataupun pedoman hidup dalam menjalani pergaulan bermasyarakat tersebut, yang tidak hanya harus ada akan tetapi juga wajib untuk ditaati oleh setiap manusia. Hubungan-hubungan tersebut, baik antara manusia dengan manusia, manusia dengan masyarakat diatur dalam suatu nilai-nilai atau kaidah-kaidah.
Di dalam hukum konvensional dan pelajaran-pelajaran tentang hukum dalam dunia pendidikan, dikenal dua macam hukum menurut sifatnya,yaitu: hukum privat (perdata) dan hukum public (pidana).  Dalam penulisan makalah ini, penulis mengangkat tema  tentang hukum pidana yang terfokus pada hukum pidana itu sendiri dan perkembangan hukum pidana.
B.      Rumusan Masalah
Sebagaimana penulis telah sebut di atas bahwa yang menjadi tema dalam penulisan makalah ini adalah tentang hukum pidana atau hukum public  dan perkembangannya, maka sebelum memasuki lebih jauh dalam pembahasannya, maka perlu untuk membagi pokok-pokok permasalahan agar apa yang akan dibahas tetap focus dan tidak melenceng jauh dari apa yang menjadi objek kajian atau bahasan makalah ini. Berikut beberapa masalah atau pertanyaan yang timbul dari tema pokok tersebut :
1.       Apakah batasan atau pengertian hukum pidana
2.       Apakah tujuan dari penerapan hukum pidana
3.       Apakah yang dimaksud peristiwa hukum pidana
4.       Apakah asas-asas yang ada dalam hukum pidana

                Inilah beberapa masalah atau pertanyaan yang ada dari sekian banyak permasalahan dalam hukum pidana.

Bab  II   PEMBAHASAN
                Dalam hukum konvensional, hukum pidana merupakan hukum public. Artinya bahwa hukum pidana itu mengatur  hubungan antara manusia  dalam hal ini warga negara dengan negara yang menitikberatkan pada kepentingan umum atau kepentingan public. Berdasarkan perjalanan sejarah, hubungan hukum itu pada awalnya adalah hubungan hubungan pribadi atau privat, akan tetapi dalam perjalanannya dan seiring wakltu ada banyak hal dan keadaan yang diambil alih oleh kelompok dan kemudian setelah terbentuk sebuah kesatuan kelompok masyarakat yang disebut negara, kemudian diambil alih oleh negara tersebut untuk digunakan demi kepentingan umum.
              Hukum pidana merupakan hukum yang memiliki ciri dan sifat yang khas. Di dalam hukum pidana terdapat aturan dan ketentuan  tentang apa yang  dapat kita lakukan dan apa yang tidak boleh yang diikiuti oleh sanksi atau akibat.
A.     Pengertian Hukum Pidana
Sebelum melangkah lebih jauh dalam berbicara hukum pidana, umumnya kita mempertanyakan mengenai apa defenisi dari apa yang hendak kita bahas dan uraikan. Khusus dalam masalah hukum pidana, tentunya kita akan bertanya, apakah hukum pidana itu ?
Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut, tentunya kita akan menyandarkannya pada pendapat para ahli dalam bidang ini. Dan itu terdapat berbagai macam pendapat dan defenisi yang mereka berikan, ada yang singkat dan ada pula yang panjang. Namun apabila kita telaah lebih dalam lagi, maka sulit untuk menemukan defenisi yang tepat dan benar-benar lengkap.
Menurut  Leo Polak,  hukum pidana adalah bagian dari hukum yang paling celaka, sebab ia tidak tahu mengapa ia dihukum, dan dengan sia-sia membukutikan bahwa dirinya itu dihukum. Ini kedengarannya keras, tetapi  kita harus mengatakan itu dan menunjukkan ia tidak mengenal baik dasarnya  maupun batasannya , baik tujuannya maupun ukurannya. Problem dasar hukum pidana  atau sebenarnya satu-satunya problem dasar hukum pidana ialah makna, tujuan serta ukuran dari penderitaan pidana yang patut diterima, dan ini tetap merupakan problem yang tidak terpecahkan.
Ditambahkan oleh Prof. Sudarto bahwa, apakah yang menjadi ukuran bagi pembentuk undang-undang untuk menetapkan suatu perbuatan itu menjadi tindak pidana ?
Itulah sebabnya mengapa defenisi hukum pidana itu dirasa kurang lengkap dan tepat meskipun telah diberi defenisi oleh pakar atau para ahli.
Hukum pidana menurut  Mezger  adalah aturan hukum yang mengikatkan  pada suatu perbuatan yang memenuhi  syarat tertentu dengan sebuah akibat yang berupa pidana. Menurut  Lemaire, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan dan larangan yang oleh pembentuk undang-undang dikaitkan  dengan sanksi berupa pemidanaan, yaitu suatu penderitaan khusus. Sedangkan menurut Pompe, hukum pidana merupakan keseluruhan paraturan yang bersifat umum yang isinya berupa larangan dan keharusan, terhadap pelanggarannya. Negara atau masyarakat hukum mengancam dengan penderiataan khusus berupa pemidanaan, penjatuhan pidana, peraturan itu juga mengatur ketentuan yang memberikna dasar penjatuhan dan penerapan pidana.
Beberapa tokoh ataupun pakar hukum Indonesia juga memiliki pendapat mengenai Hukum Pidana ini, diantaranya :
ü   MOELJATNO mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Untuk menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana  sebagaimana yang telah diancamkan. Dan untuk menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Bambang Poernomo, 1985: 19-22).
ü  SATOCHID KARTANEGARA, bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu: Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman. Dan, Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.
ü  ROESLAN SALEH, mengatakan bahwa setiapa perbuatan yang oleh masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak dapat dilakukan sehingga perlu adanya penekanan pada perasaan hukum masyarakat. Oleh sebab itu, sesuatu perbuatan pidana berarti perbuatan yang menghambat atau bertentangan dengan tercapainya tatanan dalam pergaulan yang dicita-citakan maasyarakat. Sehingga isi pokok dari defenisi Hukum Pidana itu dapat disimpulkan sebagai hukum positif dan substansi dari hukum pidana itu adalah hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan bagi pelakunya.
ü  BAMBANG POERNOMO, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah hukum sanksi. Defenisi itu diberikan berdasarka ciri hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lainnya, yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadaklan norma sendiri melaikan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana. Secara tradisional defenisi hukum pidana dianggap benar sebelum hukum pidana itu berkembang dengan pesat.
Berdasarkan berbagai macam pendapat dari para tokoh atau pakar dalam bidang ini , baik dari luar maupun dari para ahli Indonesia sendiri, maka kita (penulis) dapat menarik sebuah kesimpulan dan menyatakan bahwa Hukum Pidana itu adalah sekumpulan aturan atau peraturan hukum yang dibuat oleh negara untuk kepentingan masyarakat yang isinya berbentuk larangan dan keharusan sehingga yang melakukan pelanggaran dari isi aturan tersebut akan dikenai sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara. Sebagaimana penulis telah sebutkan sebelumnya bahwa hukum pidana itu merupakan juga bagian dari hukum public, yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang aturan hukum pidana itu sendiri dan larangan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi pidana. Aturan umum hukum pidana ini dapat dilihat dalam KUHP ataupun yang lainnya. Dan juga berisikan tentang syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi yang melakukan pelanggaran untuk dapat dijatuhi sanksi pidana.  
B.      Tujuan Hukum Pidana
Untuk dapat mengetahui apakah tujuan daripada penerapan hukum pidana tersebut maka , ada baiknya jika kita kembali melihat pendapat dari beberapa tokoh atau pakar yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya. Yang pada intinya bahwa hukum pidana itu berisikan larangan dan keharusan yang disertai dengan sanksi pidana. Maka, kita dapat memberikan suatu gambaran tentang tujuan sebenarnya dari penerapan hukum pidana itu.  Secara maknawi bahwa tujuan hukum pidana itu sebenrnya adalah untuk mencegah timbulnya gejala-gejala social yang dianggap kurang sehat atau menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat disamping sebagai  pengobatan bagi mereka yang telah melakukan penyimpangan atau pelanggaran terhadap aturan-aturan pidana yang berlaku.
Selain daripada itu, kita juga dapat mengatakan bahwa hukum pidana itu ditujukan untuk mengatur kepentingan umum, disebabkan sifatnya yang ditujukan kepada kepentingan masyarakat umum, sehingga fungsi dan tujuan hukum pidana itu sama dengan fungsi dan tujuan hukum pada umumnya, yaitu: untuk mengatur hidup kemasyarakatan dan menyelenggarakan tatanan  dalam masyarakat. Hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang social relevan yang artinya bahwa hanya yang ada sangkut pautnya dengan masyarakat. Hukum pada dasarnya tidak mengatur suasana batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila, maka demikian pula dengan hukum pidana. Dalam kehidupan bermasyarakat mungkin ada perbuatan-perbuatan yang tercela, sangat merugikan atau bertentangan dengan kesusilaan, akan tetapi hukum pidana tidak mengatur atau tidak ikut campur tangan karena tidak dinyatakan secara tegas dalam aturan hukum ataupun hukum yang benar-benar hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat (living law).
Disamping mengatur hidup kemasyarakatan, hukum pidana juga mengatur masyarakat secara patut dan bermanfaat seperti di dalam penerapan hukum-hukum yang lainnya. Yang pada intinya bahwa hukum itu harus dapat menciptakan  suasana masyarakat yang tertib, aman, sejahtera berlandaskan pada keadilan.
Disisi yang lain, ketika berbicara tentang tujuan dari penerapan hukum pidana itu, dikenal dua macam aliran, yaitu: aliran klasik dan aliran modern.
Aliran Klasik beranggapan bahwa hukum pidana itu bertujuan untuk menakut-nakuti setiap orang agar supaya menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Yang pada intinya, untuk melindungi individu atau warga dari kekuasan pemerintah atau negara. Sebaliknya, Aliran Moderen mengatakan bahwa tujuan hukum pidana itu adalah untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik agar menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat dan lingkungannya.  
Namun demikian, adapula beberapa tokoh yang memandang perllunya ada aliran ketiga, yang merupakan perpaduan antara aliran klasik dan aliran modern. Di dalam Rancangan Undang-Undang KUHP Juli tahun 2006 Pasal 51 disebutkan bahwa tujuan dari pemidanaan adalah:
1.       Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2.       Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orangyang lebih baik dan berguna.
3.       Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarkat.
4.       Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Kemudian, untuk mencapai apa yang menjadi tujuan pemidanaan tersebut, dalan Ilmu Hukum dikenal adanya tiga teori, yaitu: teori pembalasan, teori tujuan atau relative , dan teori gabungan.
Teori Pembalasan, diadakannya pidana adalah untuk pembalasan terhadap apa yang telah dilakukan oleh terpidana. Teori ini dikenal pada akhir abad ke-18 yang didukung oleh Immanuel Kant, Hegel, Herbert, dan Stahl. Teori tujuan atau relative, jika teori absolute melihat pada kesalahan yang sudah dilakukan, maka sebaliknya teori-teori elatif ataupun tujuan berusaha untuk mencegah kesalahan pada masa yang akan datang, dengan perkataan lain bahwa pidana itu merupakan sarana atau alat untuk mencegah kejahatan, oleh karena itu juga sering disebut sebagai teori prevensi, yang dapat kita tinjau dari dua segi, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan dijatuhkannya sanksi pidana diharapkan para penjahat  untuk mengurungkan niatnya disebabkan  adanya perasan takut dengan akibat yang dilihatnya. Sedangkan prevensi khusus ditujukan agar supaya orang terpidana tidak mengulangi lagi perbuatannya.
C.      Peristiwa Hukum Pidana
Sebagaimana kita semua ketahui bahwa sejak kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan atas asas konkordansi, negara ini mengadopsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana milik Pemerintah Hindia Belanda, yang dulu bernama Wetboek van Strafrecht voot Indonesie dan merupakan semacam kutipan dari WvS Nederland yang tentunya berbahasa Belanda. Di dalam kutipan tersebut ada istilah “strafbaar feit” yang jika di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sama dengan “tindak pidana”. Akan tetapi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada penjelasan terperinci mengenai apa maksud dari istilah tersebut. Umumnya di Indonesia, istilah “tindak pidana” itu disamakan atau disinonimkan dengan kata “delik” yang berasal dari bahasa Latin, yaitu delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.
Mengenai hal ini, beragam pendapat dari para sarjana hukum akan defenisi dari istilah strafbaar feit itu sendiri.
Ø  Prof. Moeljatno, S.H. menerjemahkan istilah strafbaar feit ini sebagai perbuatan pidana. Menurut beliau bahwa perbuatan pidana ini menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang oleh hukum,  yang mana pelakunya dapat dikenai sanksi pidana. Diartikan demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia. Demikian pula kata “perbuatan” lebih condong kepada sebuah sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif, yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum. Akan tetapi dapat juga bersifat pasif, yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan berbuat  oleh hukum.
Ø  Istilah strafbaar feit juga diartikan sebagai peristiwa pidana,hal ini pertama kali dikemukakan oleh Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam perundang-undangan formal Indonesia, istilah peristiwa pidana ini pernah digunakansecara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu pada Pasal 14 ayat (1). Secara substantive, pengertian dari istilah “peristiwa pidana“ ini lebih menunjukkan kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Karena itu dalam percakapan sehari-hari biasa ada ungkapan bahwa itu merupakan peristiwa alam.
Ø  Sedangkan istilah strafbaar feit yang diterjemahkan sebagai tindak pidana pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman. Dan istilah inilah yang umum dipergunakan hingga saat ini. Hal ini dapat kita lihat dari penggunaan kata tindak pada berbagai macam undang-undang yang ada, misalnya: UU Tindak Pidana Korupsi, UU Tindak Pidana Narkotika dan masih banyak yang lainnya. Istilah tindak pidana ini menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Demikian pula ketika tidak melakukan perbuatan atau gerak-gerik, dia telah melakukan tindak pidana. Mengenai hal ini, yakni keharusan untuk berbuat tetapi tidak melakukan perbuatan diatur dalam KUHP pasal 164, ketentuan yang mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila akan timbul kejahatan tetapi tidak melaporkannya, maka seseorang dapat dikenai sanksi pidana. Prof. Sudarto mengatakan bahwa pembentuk undang-undang sudah tepat dalam pemakaian istilah tindak pidana karena istilah ini sudah dengan mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat.
Berdasarkan berbagai macam pendapat dan pandangan para sarjana hukum Indonesia di atas, maka kita dapat menarik kesimpulan secara umum bahwa yang dimaksud dari istilah strafbaar feit adalah tindak pidana yang berarti perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan sanksi pidana. Yang mana dalam hal ini, perbuatan itu meliputi yang aktif maupun yang pasif. Suatu perbuatan baru akan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila  telah memenuhi dua unsur pidananya, yaitu: unsur Objektif dan unsure Subjektif.
Unsur Objektif yaitu suatu tindakan/perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman sanksi. Dalam hal ini yang menjadi titik utama dari pengertian objektyif adalah tindakannya. Sedangkan, Unsur Subjektif yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang, sifat dari unsure ini adalah adanya pelaku.
D.     Asas-asas Dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana dikenal berbagai macam asas yang berlaku untuk keseluruhan perundang-undangan pidana yang ada, kecuali dalam hal-hal khusus yang telah diatur secara terpisah dalam undang-undang tertentu (lex spesialis)  seperti yang telah disebut pada Paasal 103 KUHP. Meskipun demikian, terdapat asas yang sangat penting dan sebaiknya tidak boleh diingkari, karena asa tersebut dapat dikatakan sebagai pondasi atau tiang penyangga hukum pidana. Asas-asas tersebut dapat kita simpulkan dari pasal-pasal awal Buku I KUHP, dan dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan yang penting saja.
1.       Asas Legalitas
Asas legalitas dapat dikatakan sebagai tiang penyangga dari hukum pidana. Asas ini tersirat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu: tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.  Berdasarkan rumusan tersebut, secara tegas ditunjuk perbuatan mana yang dapat berakibat pidana, dalam artian bahwa bukan perbuatannya yang dipidanakan akan tetapi orang yang melakukan perbuatan tersebut. Dengan catatan bahwa perbuatan itu harus ditentukan oleh perundang-undangan pidana sebagai perbuatan yang pelakunya dapat dijatuhi pidana dan serta perundang-undangan itu harus telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Adapun makna yang terkandung dalam asas legalitas tersebut adalah bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau perbuatan itu terlebih dahulu belum diatur dalam UU, bahwa untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi, dan bahwa undang-undang hukum pidana itu tidak berlaku surut/mundur.
2.       Asas Hukum Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege
Telah disebutkan bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis. Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Akan tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenal criminal act, juga ada dasar yang pokok, yaitu asas legalitas, asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya ini dikenal dengan istilah Latinnya Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege. (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).
3.      Asas Teritorial
Menurut asas territorial ini, berlakunya undang-undang pidana suatu negara semata-mata digantungkan pada tempat dimana tindak pidana atau perbuatan pidana itu dilakukan. Dan tempat terjadinya itu harus dalam wilayah atau teritori negara yang bersangkutan. Simons mengatakan bahwa berlakunya asas territorial ini berdasarkan atas kedaulatan negara sehingga setiap orang wajib dan taat kepada perundang-undangan negara tersebut.
Pasal 2 KUHP merumuskan aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku  bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di Indonesia. Perkataan setiap orang mengandung arti baik warga negara Indonesia. Dalam hal ini, melakukan perbuatan, terdapat kemungkinan bahwa perbuatannya sendiri tidak di Indonesia, tetapi akibatnya terjadi di Indonesia. Misalnya,seseorang yang dari luar negeri mengirimkan paket berisi  bom dan kemudian meledak serta membunuh orang ketika dibuka di Indonesia.
4.      Asas Perlindungan (Asas Nasional Pasif)
Berdasarkan asas perlindungan ini, peraturan hukum pidana Indonesia berfungsi untuk melindungi keamanan kepentingan hukum terhadap gangguan dari setiap orang di luar Indonesia terhadap kepentingan hukum Indonesia. Hal ini telah diatur dalam Pasal 3 KUHP. Dengan demikian tidak semua kepentingan hukum dilindungi, kecuali hanya kepentingan yang vital dan berhubungan dengan kepentingan umum, yaitu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 KUHP. Disini , kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan yang bersifat umum dan luas, dan bukan kepentingan pribadi atau golongan. Dapat kita simpulkan jika ternyata di luar negeri sebenarnya kepentingan pribadi Warga Negara Indonesia kurang terlindungi.
5.      Asas Personal (Asas Nasional Aktif)
Menurut asas personal ini, ketentuan hukum pidana berlaku bagi setiap Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia. Bagi mereka yang melakukannya dalam wilayah Indonesia  telah diliputi oleh asas territorial pada Pasal 2 KUHP.
Sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 5 KUHP,akan tetapi dengan pembatasan tertentu yang dirumuskan pada bagian ke 1 dan 2 dari pasal tersebut. Ketentuan tersebut khususnya pada butir ke 2 disebabksan oleh kenyataan bahwa tidak semua negara mengadakan pembagian antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana halnya Indonesia sehingga ukurannya adalah yang di Indonesia termasuk sebagi kejahatan.
6.      Asas Universal
Sebagaimana amanah pada pembukaan UUD 1945 yang merumuskan agar negara ini ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia, KUHP Indonesia juga mengatur tentang dapat dipidananya perbuatan-perbuatan seperti pembajakan di laut, meskipun berada di luar wilayah Indonesia tetapi masih dalam kendaran air, yakni wilayah laut bebas (mare liberum). Kejahatan demikiam lazimnya dikenal orang sebagai kejahatn pelayaran. Asas itu disebut sebagai asas universal  karena bersifat global, mendunia dan tidak membeda-bedakan warga negara apapun, yang penting adalah terjaminnya ketertiban dan keselamatan dunia.
Di dalam Pasal 9 KUHP dirumuskan bahwa belakunya Pasal 2-7 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian yang diakui dalam hukum internasional. Misalnya bahwa hukum internasioanal mengakui adanya kekebalan atau imunitas diplomatic dan hak eksteritorial yang dimiliki oleh kepala negara asing, duta besar dan para diplomat serta personel angkatan perang negara asing yang berada di Indonesia atas izin Pemerintah Indonesia.
 Apabila sesuatu hal terjadi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki hak imun tersebut yang dapat dipidana menurut KUHP, maka jalan penyelesaiannya melalui jalur diplomatic dan hukum internasional. Misalnya dengan cara menyatakan yang bersangkutan sebagai persona non grata dan dengan cara meminta negara tempat asalnya untuk menarik kembali orang tersebut. Secara hukum internasional juga dikenal adanya perjanjian ekstradisi, tetapi di dalam ekstradisi itu terdapat asas bahwa suatu negara tidak akan menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diadili oleh negara lain sekiranya warganya melakukan kejahatan di negara lain. Demikian pula tidak akan diserahkan mereka yang melakukan kejahatan politik dan orang yang meminta suaka politik.





Bab  III  Penutup
Kesimpulan
Konsep hukum pidana Indonesia di luar kodifikasi dari tahun ke tahun telah menunjukkan kemajuan yang baik dalam konsepsi dasar pandangan hukum pidana yang dialirkan melalui penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana maupun nilai-nilai budaya atau budaya hukum yang bersumber pada perubahan dalam pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya. Di dalam perkembangan keilmuan hukum pidana ini seharusnya melihat dari system ajaran hukum tertentu. Di mana di dunia ini system hukum secara umum dikelompokkan ke dalam dua system, yaitu : system hukum anglo saxon dan system hukum eropa continental. Sementara itu, dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum public, sehingga hukum pidana sering juga disebut sebagai hukum public.
Hukum public atau hukum pidana merupakan sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara yang berisikan larangan dan keharusan yang disertai dengan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.
Tujuan dari penerapan hukum pidana itu pada hakikatnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala social yang menyimpang atau kurang sehat disamping sebagai pengobat bagi mereka yang telah terlanjur berbuat kesalahan atau kejahatan.
Peristiwa hukum pidana seringkali, bahkan telah menjadi terkenal dengan penyebutan tindak pidana atau delik ialah suatu perbuatan yang dapat dikenakan hukum pidana. Yang apabila telah memiliki  dua unsure, yaitu : unsure objektif dan unsure subjektif.
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Asas ruang lingkup berlakunya hukum pidana dan juga asas umum yang penting dalam hukum pidana ada beberapa, diantaranya adalah :
v  Asas Legalitas
v  Asas Universal
v  Asas Nullum Delictum NullaPoena SinePraevia Legi 
v  Asas Nasionalitas aktif (personalitas)
v  Asas Nasionalitas pasif (perlindungan), dan
v  Asas Territorial
Daftar Pustaka
Abidin, Andi Zainal.  Asas-Asas Hukum Pidana (Bag. I). Bandung: Alumni,1987
Dirdjosisworo, Soedjono S.H., Dr. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana,2008
M.Hamdan.  Politik Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1999 
Prasetyo, Teguh S.H., Prof., Dr. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers,2010
Poernomo, Bambang. Hukum Pidana. Jakarta: PT Bina Aksara,1982
Sudarto.  Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar Baru, 1983






















Kata Pengantar
Peralihan demokrasi di Indonesia yang sedang berlangsung pada era reformasi, memberi  harapan kepada semua masyarakat Indonesia  akan lahirnya perubahan-perubahan dan reformasi disegala bidang kehidupan bangsa dan negara. Namun demikian, realitas membuktikan bahwa cita-cita luhur itu tidak semudah realisasinya. Ada banyak  persoalan baru yang muncul dan menghadang walau hanya sekedar untuk mempersempit jarak antara cita-cita dan realita sebagai akibat dari krisis multidimensi yang melanda bangsa ini.
Tanpa menafikan adanya berbagai macam problem dan kelemahan itu, kita juga harus mengakui secara objektif hal itu tidak sepenuhnya gagal total. Ada banyak pelajaran dan buah yang bisa kita petik dari keadaan ini. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, masyarakat sudah mulai berada pada titik kesadaran akan pentingnya pembelajaran demokrasi politik, transparansi dalam berbagai bidang terkhusus pada mulainya ada kesadaran hukum yang harus kita apreseasi secara positif. Munculnya tuntutan masyarakat akan penegakan hukum di salah satu sisi juga terkuaknya kasus-kasus hukum utamanya pada tindak pidana.
Kuatnya tuntutan penegakan hukum dari masyarakat merupakan momentum yang sangat baik dan harus secepat mungkin untuk disikapi secara proaktif. Salah satu bentuk sikap proaktif tersebut adalah dengan adanya penulisan makalah tentang Hukum Pidana ini. Tulisan ini bukan hanya sekedar memenuhi tugas mata kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia Timur, tetapi lebih pada sikap proaktif penulis untuk turut serta dalam sosialisasi materi-materi hukum kepada masyarakat Indonesia, terkhusus dalam lingkungan kampus UIT sendiri.
Namun demikian, penulis menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penulisan makalah ini. Maka kiranya dapat dimaklumi dan sedianya untuk mengkritik tulisan ini guna mengarah kepada yang lebih baik dan lebih sempurna. Semoga bermanfaat.


Terma kasih dan Selamat
Salam,


S.Muh. Ismail Assaggaf      

Ini Dia, Rahasia 'Hot Spot' Pria

INILAH.COM, Jakarta - Umumnya lelaki memahami bahwa seluruh bagian pada kulit mereka adalah daerah sensitifnya, jika disentuh oleh perempuan. Maka, sentuhlah pasangan Anda agar menjadi lebih bergairah.

Ada beberapa tempat spesifik di tubuh lelaki yang bisa membuat mereka sangat bergairah pada Anda jika disentuh. Pakar seks Dr. Patti Britton mengungkapkan bahwa lelaki umumnya memiliki tiga titik g-spot utama.

Bagi sebagian lelaki, ketiga titik hot spot ini bisa menghantarnya kepada fenomena multi orgasme. Tak mudah memang membuat lelaki mendapatkan multi orgasme dalam satu siklus hubungan seksual. Namun, setidaknya Anda bisa membuatnya terbang ke angkasa dengan sentuhan-sentuhan Anda.

Seperti dilansir dari Askmen, berikut titik hot spot yang bisa menghantar pria kepada fenomena multi orgasme.

Frenulum
Ini adalah area sensitif lelaki yang terdapat pada bagian bawah Mr Dick miliknya. “Titik hot spot lelaki ini bila disentuh dengan baik bisa menghasilkan sensasi yang hebat pada lelaki Anda. Kapanpun Anda sentuh titik itu, tentu akan membuatnya sangat terangsang,” ujar Dr Britton.

Perineum
Area ini tepat terletak antara testikel dan Mr Dick Sebelum Anda memulai hubungan cinta dengannya, sebaiknya titik ini harus Anda rangsang terlebih dahulu. Ini akan sangat memberikan sensasi ekstra kuat pada gairahnya.

Dr Britton menyebut titik ini adalah titik hot spot rahasia lelaki. Jadi, lakukan sentuhan-sentuhan lembut pada bagian ini. Terutama, rangsang bagian ini saat Anda melakukan stimulasi oral, gunakan dengan lidah Anda dengan baik.

Prostat
Lakukan rangsangan pada prostatnya. Ini membuatnya merasakan sensasi yang luar biasa. Dr Britton memberi saran untuk melakukan stimulasi rangsangan prostat dengan oral. Bisa juga dengan memberi rangsangan jel atau pelicin tertentu.

Beri rangsangan di prostat sembari memberikan sentuhan jari pada anusnya. Gerakkan jari Anda saat beri sentuhan pada anus saat Anda terfokus pada prostat miliknya.

Sangat dijamin, akan membuatnya mendapatkan sensasi yang tak terhingga. Lakukanlah berbagai improvisasi Anda dengan titik-titik di atas saat melakukan stimulasi rangsangan.

makalah kewarganegaraan


BAB  I  :  PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Republik Indonesia adalah salah satu nama negara yang ada di muka bumi ini yang mencapai kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Tentunya kemerdekaan itu tidaklah dapat diraih semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi semua itu diraih dengan perjuangan dan pengorbanan, baik jiwa maupun raga rakyat Indonesia. Yang kesemuanya itu tentunya dengan satu tujuan yaitu terlepas dari penjajahan dan meraih kemerdekaan karena itu adalah hak setiap manusia, bangsa dan negara. Dan itu tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Ketika kita berbicara tentang negara, tentunya kita juga harus berbicara tentang perangkat-perangkat yang ada di dalamnya dan juga proses yang mengawali terbentuknya negara tersebut. Dimana proses itu tentunya tidak berhenti sampai pada hanya terbentuknya negara tersebut, akan tetapi terus berjalan dan berlanjut selama negara itu tetap eksis dan berdaulat. Negara kita ini Republik Indonesia tentunya memiliki itu semua. Negara ini tidak akan ada jika seandainya tidak melalui perjuangan rakyat dan bangsa ini. Dan hasil dari perjuangan tersebut dapatlah kita rasakan hingga saat ini yaitu kemerdekaan. Dengan mempelajari sejarah tentunya kita akan dapat melihat gambaran dari perjuangan tersebut sehinga diharapkan kepada kita semua sebagai generasi penerus dan pelanjut bangsa ini, dapat mengisi kemerdekaan tersebut dengan sebaik-baiknya.
Mereka yang telah mengorbankan jiwa dan raga tentunya tidak ingin melihat bangsa ini dijajah dan dirusak oleh bansa lainnya lagi. Apalagi dari bansa kita sendir. Satu harapan mereka adalah apa yang tertuang dalam Sumpah Pemuda. Yang mana pada intinya mereka para pahlawan bangsa ini mengharapkan agar bangsa ini bisa bersatu dalam naungan Negara Republik Indonesia.
Lebih jauh lagi ketika kita berbicara tentang sebuah negara, yaitu saat dimana kita sebagai warga yang dituntut untuk dapat mengisi kemerdekaan ini, tentunya kita akan banyak melihat dari berbagai aspek dan bidang, yang kesemuanya itu tidak bisa terlepas dari sebuah kelompok atau institusi yang terbesar, yaitu Negara. Aspek tersebut dapat di golongkan kedalam empat bidang yaitu: ekonomi, politik, social budaya dan pertahanan keamanan. Yang semuanya itu haruslah berkembang pesat secara bersamaan agar supaya dapat sejajar dengan bangsa dan negara lainnya di dunia.
Bahkan, jika kita sebagai mahasiswa tentunya diharapkan berperan aktif dan turut berpartisipasi dalam Pembangunan Nasional, lebih peka dan arif bijaksana dalam melihat kehidupan barbangsa dan bernegara. Kita juga harus menyadari bahwa sebagai anggota masyarakat kita dituntut untuk dapat menyumbangkan pikiran dan tenaga dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menyelesaikan pendidikan sebaik mungkin karena hal ini juga sesuai dengan semangat Tri Dharma Pendidikan dan Pembukaan UUD 1945. Dan yang lebih penting dan utama adalah selalu tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ini yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.


I.2. Permasalahan
Empat aspek yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu: ekonomi, politik, social budaya dan pertahanan keamanan. Keempat aspek ini merupakan konsep ketahanan nasional yang dijabarkan dari konsep wawasan nusantara. Yang kesemuanya ini merupakan upaya untuk mencapai tujuan nasional negara Republik Indonesia. Kenyataan bahwa upaya itu pun harus berlandaskan dengan UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara yang telah ditetapkan oleh Mejelis Permusyawaratan Rakyat dalam setiap Sidang Umum MPR. Segenap rakyat Indonesia dan pemerintah serta lembaga-lembaga tinggi negara lainnya harus berdasarkan ini dalam penyelenggaraan negara.
Ketahanan nasional akan terwujud melalui pembangunan manusia Indonesia seutuhnya  yang meliputi segala aspek kehidupan nasional tersebut (ekopolsosbud hankam).
Pada hakekatnya, Ketahanan Nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara. Penyelenggaraan Ketahanan Nasional dilakukan  melalui pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Kedua pendekatan ini selalu digunakan bersama-sama, tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi oleh bangsa ini. Penyelenggara kesjahteraan membutuhkan tingkat keamanan demikian pula sebaliknya. Sehingga evaluasi Ketahanan Nasional memberikan gambaran tentang tingkat kesejahteraan dan keamanan suatu bangsa. Sebagaimana penulis sebut sebelumnya bahwa konsep Ketahanan Nasional itu di kembangkan dari konsep Wawasan Nusantara, sehingga Ketahanan Nasional ini baru dapat dipahami dengan baik apabila telah memahami terlebih dahulu Wawasan Nusantara.
Sehingga proses pembangunan untuk meningkatkan Ketahanan Nasional sebagai upaya bansa Indonesia untuk mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan dikenal dengan “Politik Nasional dan Strategi Nasional”.  
I.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari salah satu poin utama dalam sub bab sebelumnya, yaitu mengenai empat aspek kehidupan berbangsa dan bernegara adalah ekonomi, politik, social budaya dan pertahanan keamanan. Kami penulis mencoba untuk menguraikan dan menggambarkan salah satu aspek kehidupan tersebut. Aspek tersebut adalah Politik. Dimana politik itu secara umum mengandung makna Kekuasaan ataupun Kebijaksanaan.
Politik di Indonesia tentunya haruslah diilhat dalam konteks Ketahanan Nasional, sehingga Politik Nasional di negara ini meliputi politik dalam negeri dan politik luar negeri. Dengan demikian, politik di Indonesia tidak terlepas pula dari sebuah Strategi Nasional.
Yang menjadi pertanyaan sekaligus uraian utama makalah ini adalah: apakah Politik Nasional dan Strategi Nasional serta Hubungan keduanya, dan implementasinya dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia ?.
Demikianlah nantinya akan kami bahas dan uraikan pada bab berikutnya nanti.      
I.5. Tujuan Penulisan
Karya tulis ini yang berupa Makalah, selain bertujuan untuk memenuhi tugas pengganti midtest  mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, juga memilki tujuan sebagaimana tujuan Pendidikan Kewarganegaraan sesuai dengan Keputusan Dirjen Dikti No.267/DIKTI/2000 yang mencakup tujuan umum: untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warganegara dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Tujuan khusus: agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warga negara Republik Indonesia terdidik dan bertanggung jawab. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional.  Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai perjuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban demi bangsa dan negara.




BAB  II  POLITIK dan STRATEGI NASIONAL
II.1.  Politik
Politik atau  politics secara umum mengandung makna kekuasaan dan atau policy yang berarti kebijaksanaan.
Secara etimologis kata politik berasal dari bahasa Yunani politeia atau polistaia yang akar katanya adalah polis, berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri/mengurus diri sendiri,yaitu negara dan teia atau taian yang berarti urusan. Dalam bahasa Indonesia, politik dalam arti politics mempunyai makna kepentingan umum para warga suatu negara. Politik merupakan suatu rangkaian asas, prinsip, keadaan, jalan, cara dan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang kita kehendaki. Sedangkan policy yang diterjemahkan sebagai kebijaksanaan adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan yang dianggap dapat lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita dan tujuan yang dikehendaki. Pengambil kebijaksanaan biasanya dilakukan oleh seorang pemimpin.
Politics dan policy memiliki hubungan yang erat dan timbale balik. Poltics memberi jalan, asas, arah dan medannya sedangkan policy memberikan pertimbangan cara pelaksanaan asas, cara jalan, dan arah dengan sebaik-baiknya. Politik secara umum juga menyangkut proses penentuan tujuan negara dan cara melaksanakannya. Pelaksanaan tujuan itu memerlukan pengaturan, pembagian, atau alokasi sumber-sumber yang ada. Demikian pula yang dinamakan dengan Politik Nasional. Sehingga yang perlu kita perhatikan dan ingat adalah bahwa cita-cita nasional dan tujuan nasional masih dalam bentuk konsepsional dan teoritis, sedangkan tujuan nasional sudah dalam bentuk aktualisasi diri yang bersifat praksis.
Dengan demikan bahwa politik itu membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distribusi sumber daya.
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memilki kekuasaan tertinggi yang ditaati oleh rakyatnya. Adapun istilah “negara” yang kita kenal saat ini mulai timbul pada zaman Renaissance di Eropa sekitar abad ke-15. Seperti halnya dengan “hukum” yang memilki banyak defenisi, perumusan tentang Negara juga demikian, sehingga banyak tokoh yang membuat defenisi tentang “negara”. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa negara merupakan bentuk masyarakat dan organisasi politik yang paling utama dalam suatu wilayah yang berdaulat.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lainnyasesuai dengan keinginannya. Dalam politik yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kekuasaan itu diperoleh, mempertahankannya, dan bagaimana melaksanakannya.
Pengambilan Keputusan merupakan aspek utama politik. Dalam pengambilan keputusan perlu diperhatikan siapa pengambil keputusan itu dan untuk siapa keputusan itu dibuat. Jadi, politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum. Keputusan yang diambil tentunya menyangkut sector public dari suatu negara.
Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seseorang atau kelompok politik dalam memilih tujuan dan cara mencapai tujuan itu. Dasar pemikirannya adalah bahwa masyarakat memiliki beberapa tujuan bersama yang ingin dicapai secara bersama pula, sehingga perlu ada rencana yang mengikat yang dirumuskan dalam kebijakan-kebijakanoleh pihak yang berwenang.
Alokasi sumber daya adalah pembagian dan distribusi nilai-nilai (value) dalam masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang diinginkan dan cukup urgent. Ia harus dibagi secara adil. Politik membicarakan bagaimana pembagian dan pengalokasian nilai-nilai secara mengikat.
Dalam bahasan ini yang kita mau uraikan adalah Hukum. Apakah sebenarnya atau pengertian atau defenisi hukum itu?. Dalam mendefinisikan atau mengartikan sesuatu tentunya dimulai dengan memberi nama sesuatu itu. Nama akan menjadi petunjuk bagi adanya sesuatu meskipun nama itu dapat saja hanya sekedar nama. Didalam mendefinisikan “hukum” yang harus kita perhatikan adalah bahwa hukum itu merupakan suatu nama yang bukan hanya sekedar nama tanpa memiliki petunjuk apa-apa. Hukum adalah sebuah nama bagi sebuah pranata atau lembaga sosial dalam kehidupan ini, khususnya kehidupan bernegara. Kemudian yang harus diperhatikan adalah bahwa hukum itu menunjukkan sebuah dasar atau esensi sesuatu yang dapat berarti  intisari. Sehingga hukum dapat dikatakan sebagai sebuah nama yang tidak hanya menjadi suatu penanda tetapi juga menunjukkan suatu esensi dari lembaga atau pranata social.
Penulis akan menggambarkan proses terjadinya dan terbentuknya hukum itu dalam sebuah deskripsi atau deliniasi yang berupa perumpamaan dalam kehidupan individu dan sosial.
Andaikan dalam sebuah kenyataan ada seseorang, sebutlah namanya  “Baco”  yang hidup di suatu tempat atau pulau yang tak berpenghuni, yang tak ada seorangpun disana kecuali dirinya seorang dan kehidupan pulau itu saja. Maka dapat kita pastikan bahwa si Baco ini bisa dengan bebasnya berbuat apa saja, menggunakan dan memanfaatkan apapun yang ada di pulau itu semau dan seenak perutnya sendiri tanpa harus takut atau berakibat apapun dan bertentangan dengan orang lain. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pasti si Baco atau siapapun yang hidup sendiri tentunya tidak akan terikat dan terpengaruh oleh bekerjanya hukum itu, atau dengan kata lain di tempat itu “tidak ada hukum” bahkan norma-norma pun tidak akan kita temui.
Akan tetapi kemudian hari hadirlah orang lain, sebutlah namanya “Budi”, dan terjadilah pertemanan dan pergaulan kehidupan diantara keduanya di pulau itu yang tadinya hanya si Baco sendiri. Maka kehidupan yang dialami oleh si Baco tentunya akan mengalami perubahan dari kehidupan yang bebas tanpa aturan menjadi memiliki aturan-aturan. Hal ini disebabkan oleh kehadiran si Budi, diantara mereka berdua pastinya akan memiliki kepentingan dan keinginan-keinginan yang mungkin saja sama tetapi juga pasti ada pertentangan dan perbedaan. Disinilah mulai muncul aturan-aturan atau hukum dalam bentuk kerja sama dan saling pengertian dalam kesabaran agar tercipta perdamaian.
Kemudian datanglah orang lain berduyun-duyun ke tempat mereka berdua sehingga mereka telah menjadi suatu kelompok sosial dan terus hidup dan berkembang menjadi kelompok masyarakat. Maka dengan itu dapat pula dipastikan akan terjadi banyak masalah dan kepentingan-kepentingan yang akan saling bertentangan dan bahkan berbenturan. Disinilah hukum itu akan juga mengalami perkembangan yang tadinya hanya mengatur antara dua individu menjadi aturan-aturan yang lebih kompleks dan rumit. Aturan-aturan itu dibutuhkan untuk membatasi dan melindungi kepentingan tiap-tiap individu dalam kelompok  masyarakat  tersebut. Dan akan terus mengalami perkembangan selaras dengan perkembangan masyarakat itu sehingga antara kehidupan masyarakat dan perkembangan hukum itu saling mempengaruhi corak ataupun bentuknya.
Berdasarkan gejala-gejala yang telah penulis gambarkan maka dapatlah disimpulkan bahwa “Hukum adalah sebuah gejala sosial yang mengatur kepentingan masyarakat, hak dan kewajiban yang berkembang selaras dengan kehidupan manusia”.
Berikut ini penulis tampilkan beberapa defenisi tentang hukum yang telah mengalami perkembangan dari tokoh-tokoh hukum yang dapat kita perbandingkan, diantaranya:
1.                Donald Black mendefinisikan hukum sebagai tatanan dari control social meliputi segala tindakan oleh lembaga politik yang berkaitan dengan batasan dari kontrol sosial  atau segala sesuatu yang mencoba untuk mempertahankannya.[1]
2.                Austin, hukum adalah sebuah perintah dari yang berdaulat.[2]
3.                Talcott Parsons melihat hukum sebagai sebuah kode normatif umum yang melakukan fungsi integratif.
Defenisi tentang hukum itu ternyata sangat banyak. Kesemuanya itu juga ternyata benar karena memiliki argumentasi yang kuat dan paling tidak dapat mewakili masyarakat dalam mendefinisikan hukum itu. Dan yang terpenting adalah bahwa defenisi-defenisi itu ternyata sangat dipengaruhi oleh pandangan ideologi orang tersebut, ini dimiliki oleh setiap individu.
II.1.b. Keinginan, Maksud dan Tujuan Hukum
Untuk dapat mengetahui keinginan, maksud dan tujuan hukum itu, maka tentunya kita harus berangkat dari kesimpulan ataupun rumusan tentang hukum itu sendiri. Penulis mencoba untuk kembali menggambarkan sebagaimana pokok permasalahan sebelumnya agar supaya lebih mudah untuk dipahami.
Di dalam menjalani proses kehidupan ini, manusia terkadang memiliki kepentingan-kepentingan yang begitu banyak dan itu tidak menutup kemungkinan senantiasa saling bersinggungan dengan kepentingan orang lain. Disinilah tujuan hukum itu bekerja yaitu untuk melindungi kepentingan-kepentingan itu. Akan tetapi itu juga merupakan suatu dilema yang sangat kontra produktif karena disamping untuk melindungi kepentingan seseorang juga mengabaikan kepentingan-kepentingan orang lain, sebagian atau seluruhnya. Maka dalam perkembangannya ,penjagaan kepentingan itu terpaksa akan mencari jalan tengah untuk mencapai kesepakatan atau kompromi.
Hukum itu akan selalu mencari jalan agar persoalan-persoalan baru yang muncul kemudian dari begitu kompleksnya benturan kepentingan, dapat terselesaikan dengan baik tanpa harus ada yang dirugikan. Hukum harus mempertimbangkan dengan seteliti-telitinya persinggungan kepentingan itu. Jadi, hukum itu menunjukkan usahanya atau bentuknya yang sebenarnya dalam penyelesaian masalah dengan adil dan bijaksana yaitu dengan terciptanya persamaan hak dan kewajiban serta adanya rasa kepuasan dari semua pihak.
Akan tetapi pada hakekatnya manusia itu tidak akan pernah merasa puas terhadap sesuatu. Manusia itu bersifat egois yang selalu ingin lebih didahulukan keinginan dan kepentingannya dengan mengabaikan orang lainnya. Inilah permasalahan utama manusia yang membutuhkan “perwasitan” melalui Hukum.
Hukum menghendaki persamaan untuk semua orang dan tentunya diatur dalam ketentuan hukum. Inilah yang disebut Persamaan Hak.
Persamaan hak  haruslah berdasarkan suatu asas yang luhur, yang sebenarnya tidak termasuk dalam ranah hukum akan tetapi pada ranah etika. Asas luhur itu adalah Keadilan. Yang akan memerangi dan menghancurkan sifat mementingkan diri sendiri atau egoisme. Hukum itu benar-benar menghendaki adanya keadilan dan kejujuran yang akan dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat yang juga merupakan Hak Azasi Manusia.
Persamaan hak yang muncul dari prinsip keadilan dan kejujuran yang  mengandung pengertian bahwa setiap individu itu harus mendapatkan kepastian hukum dan keadilan. Kepastian Hukum adalah syarat mutlak bila dikehendaki supaya hukum dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, Keadilan dijadikan pedoman bagi kebenaran isi hukum. Kedua-duanya saling bertentangan serta menerbitkan perselisihan yang tak dapat dihilangkan. Akan tetapi kedua-duanya juga dibutuhkan agar hukum dapat menyelenggarakan dengan baik dan dapat mencapai maksudnya.[3]
Makanya dicarilah jalan tengah yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkait.
Hukum baru dapat mencapai tujuannya apabila dapat menyeimbangkan antara Kepastian Hukum dan Keadilan,[4] atau keserasian antara sebuah kepastian yang bersifat umum (obyektif) dengan penerapan keadilan secara khusus yang bersifat subyektif. Makanya dibutuhkan beberapa persyaratan, diantaranya:
1.                Kaidah-kaidah hukum serta penerapannya yang se dekat mungkin dengan citra masyarakat
2.                Pelaksana penegak hukum dapat mengemban tugas sesuai tujuan dan keinginan hukum itu.
3.                Masyarakat di mata hukum adalah sama, harus taat dan sadar akan pentingnya hukum bagi keadilan kesejahteraan serta menghayati akan keinginan hukum demi keadilan.
Secara singkat  bahwa, “Tujuan hukum adalah memberikan  peraturan-peraturan (petunjuk, pedoman) dalam pergaulan hidup, untuk melindungi individu dalam hubungannya dengan masyarakat, sehingga dengan demikian dapat diharapkan terwujud suatu keadaan aman, tertib dan adil.” (Safioedin, 1973)
II.1.c. Aliran Hukum
Akhir-akhir ini banyak sekali terjadi peristiwa hukum di dalam wilayah berdaulat Republik Indonesia. mulai dari hal-hal yang kecil bersifat sepele sampai yang mengandung pelanggaran hukum yang berat. Pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, korupsi hingga penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang (narkoba). Peristiwa-peristiwa tersebut tentunya membutuhkan penyelesaian secara hukum karena terjadinya peristiwa tersebut melanggar hukum atau aturan perundang-undangan di negeri ini. Dan ternyata dari hasil pengamatan penulis menunjukkan bahwa hampir setiap proses peradilan terhadap para tersangka yang melakukan pelanggaran hukum tersebut memiliki perbedaan dalam pengambilan keputusan oleh hakim di pengadilan. Terlepas dari penyimpangan yang dilakukan oleh oknum hakim tertentu.
Semuanya itu ternyata di pengaruhi oleh aliran-aliran hukum yang ada dan berkembang dalam dunia hukum. Para hakim mungkin saja terpengaruh oleh aliran tertentu  dipengaruhi oleh tingkat intelektualitas pribadi mereka. Itulah sebabnya terkadang kita menemukan atau melihat dan mendengar suatu perkara yang mirip dan hampir sama dengan perkara lain di tempat lain tetapi hasil dari proses peradilan mereka berbeda dengan kata lain keputusan hakim berbeda satu sama lainnya meskipun pada perkara yang sama.
Beberapa aliran atau mazhab dalam pemikiran tentang hukum, dipandang sangat penting karena mempunyai pengaruh yang sangat luas bagi pengelolaan hukum lebih lanjut, seperti dalam pembuatan undang-undang dan penerapan hukum termasuk dalam proses peradilan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa beberapa aliran pemikiran hukum mewarnai praktek hukum dimanapun termasuk di negara ini. Aliran-aliran hukum tersebut adalah:
1.    Aliran Legisme, aliran ini menganggap bahwa semua hukum terdapat dalam undang-undang. Atau dengan kata lain bahwa hukum itu identik dengan undang-undang. Hakim dalam melakukan tugasnya terikat pada undang-undang, sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan undang-undang belaka, biasa disebut wetstoepassing, dengan jalan pembentukan silogisme hukum, yaitu suatu deduksi logis dari suatu perumusan yang luas menuju kepada keadaan yang lebih khusus sehingga dapat sampai kepada suatu kesimpulan yang dianggap benar dan tepat.
Aliran ini dengan besarnya menganggap kemampuan undang-undang sebagai hukum, termasuk penyelesaian berbagai permasalahan sosial. Aliran ini berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan terselesaikan jika dikeluarkan undang-undang yang mengaturnya. Sehingga undang-undang dianggap sebagai obat yang mujarab dan manjur. Undang-undang adalah segala-galanya meskipun pada praksisnya terkadang berbeda.
2.    Aliran Frei Rechtsbewegung, aliran ini memandang secara bertolak belakangan dengan Aliran Legisme. Aliran ini beranggapan bahwa dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukan, apakah berdasarkan undang-undang atau tidak. Hal ini dikarenakan pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum. Akibatnya adalah bahwa memahami silogisme hukum merupakan hal yang utama dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder. Aliran ini menganggap hakim benar-benar sebagai pembuat hukum sehingga apapun keputusan hakim itu merupakan hukum.
3.     Aliran Rechtsvinding, aliran ini biasa dipandang sebagai aliran tengah dari dua aliran sebelumnya. Aliran ini menganggap bahwa benar hakim terikat oleh undang-undang, akan tetapi tidak seketat yang diyakini oleh Aliran Legisme. Karena hakim juga memiliki kebebasan di dalam  mengambil keputusan terhadap suatu perkara, terlebih jika dengan melihat perkembangan dan keadaan masyarakat pada saat itu. Akan tetapi kebebasan hakim itu tidak seperti yang diyakini oleh aliran yang ke-dua tadi. Sehingga dalam menjalankan tugasnya, seorang hakim mempunyai apa yang disebut dengan “kebebasan terikat”. Artinya bahwa hakim itu dalam menjalankan tugasnya harus dapat menyelaraskan antara undang-undang dengan perkembangan ataupun tuntutan zaman. Hal itu dapat kita lihat akhir-akhir ini di lembaga hukum tertinggi di negara ini yaitu; Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Ketiga aliran ini atau pemikiran hukum ini sangat penting tidak saja bagi studi hukum secara teoritis, akan tetapi banyak mempengaruhi pembentukan hukum, penemuan hukum dan penerapan hukum. Itulah beberapa aliran atau mazhab pemikiran tentang hukum yang sangat berpengaruh, mewarnai praktek hukum peradilan dari dahulu dan tentunya mempengaruhi pembentukan hukum itu sendiri.
II.2. Filsafat hukum
II.2.a. Sejarah Filsafat
Filsafat terlahir di Yunani pada abad keenam Sebelum Masehi (SM). Kata “filsafat” diperkirakan mulai dipergunakan pada saat itu oleh seorang tokoh yang bernama Phythagoras. Pada periode filsafat Sokratik yaitu pada abad kelima  SM kata filsafat sudah digunakan dalam tulisan yang berjudul “Phaidros” karya Plato. Dalam karya Plato itu disebutkan bahwa kata “Sophos” (Makhluk Bijak) terlalu agung untuk seorang manusia. Kata itu hanya pantas digunakan untuk Dewa. Bagi seorang Plato, manusia itu lebih pantas dan lebih baik jika hanya dijuluki sebagai “Philosophos” (Pecinta Kebijakan).[5] Sejak saat itulah philosophos berkembang dan menjadi sebuah sebutan bagi manusia yang mencari dan mencintai kebijaksanaan. Dengan demikian, pengakuan bahwa manusia bukanlah makhluk yang sudah bijaksana akan tetapi masih sedang berproses untuk menjadi bijaksana, sudah tumbuh dan berkembang sejak masa itu. Kata philosophos menjadi tanda adanya suatu usaha dari manusia  untuk mencari dan mengejar kebijaksanaan disebabkan karena cinta akan kebijaksanaan. Filsafat yang merupakan kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari kata philosophos, dimana Philo itu berarti cinta atau Philia yang berarti persahabatan/ tertarik kepada, dan Sophos yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, atau keterampilan.[6]  Itulah sebabnya sebagian orang mengatakan bahwa filsafat itu adalah Induk Ilmu Pengetahuan dan amat sulit untuk mempelajarinya.
II.2.b.  Pendekatan Dalam Filsafat
Untuk dapat  mengetahui atau mengenal filsafat maka ada dua langkah pendekatan yang dapat kita tempuh. Yang pertama adalah pendekatan secara kronologis. Secara etimologi, kata kronologis berasal dari kata Yunani, yaitu; khronos yang berarti waktu. Pendekatan dengan cara ini membawa kita untuk memahami, mempelajari dan mencermati pemikiran-pemikiran para filsuf[7] dari waktu ke waktu secara runtut. Misalnya, mempelajari filsafat modern maka kita mempelajari pemikiran para filsuf yang hidup di abad modern, yang dimulai oleh Machiavelli hingga Friederich Nietzsche. Ataukah dapat pula kita mempelajarinya secara lebih khusus. Dalam artian bahwa kita mempelajari pemikiran para filsuf dari abad ke abad, ada pemikiran filsuf natural di masa Yunani, abad pertengahan, abad Renaissance sampai ke abad yang modern.
Yang kedua adalah dengan mengenal filsafat secara tematik. Pendekatan ini akan membawa kita untuk memfokuskan diri pada suatu tema atau topik tertentu dalam perbincangan filosofis. Cara ini mengarahkan kita untuk mengetahui, berpikir dan berbicara secara sistematis tentang suatu tema yang telah kita pilih sebelumnya. Contoh pendekatan ini dapat kita temukan dalam karya Theo Huijbers tentang filsafat hukum.
Dalam karya ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tematik tentang berbagai aliran pemikiran filsafat dalam hukum.

II.2.c. Filsafat Hukum
Secara sederhana, filsafat hukum dapat didefenisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan mendasar dari hukum, atau ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum.
Melalui tulisan ini kita mencoba untuk mengenal Filsafat Hukum dan sedikit demi sedikit kita juga mencoba untuk berfilsafat. Di dalam proses pengenalan ini, tentunya kita menggunakan metode-metode tertentu. Metode pengenalan itu telah kita bahas pada poin II.2.b.
Dengan menggunakan salah satu metode tersebut, tentunya kita dibawa kepada suatu proses pemahaman terhadap apa yang kita jadikan obyek. Pemahaman terhadap suatu obyek akan membawa kita kepada proses selanjutnya dan terus-menerus berlanjut. Dalam keseluruhan proses itu kita akan memperoleh wawasan tentang Filsafat Hukum. Sehingga kita juga akan secara otomatis akan memiliki orientasi dalam berfilsafat hukum. Dan juga tentunya kita akan menemukan pengetahuan, dimana pengetahuan itu adalah suatu makna. Sedangkan makna adalah hal penting dalam Filsafat dan kegiatan berfilsafat.
Filsafat Hukum memiliki keterkaitan dengan sebuah kata yang berasal dari Yunani, yaitu; Iurisprudence. Kata ini terdiri dari dua suku kata, Iuris dan Prudens. Iuris berasal dari kata Ius yang berarti adil, dan dapat pula dimaknai sebagai benar, kebenaran. Yang kedua adalah Prudens yang berarti kebijaksanaan ataupun kearifan berperilaku. Pertanyaan kemudian akan muncul, apakah atau bagaimana hubungannya dengan filsafat ?
Iurisprudence adalah filsafat, tetapi filsafat yang mengarahkan seseorang untuk bersikap arif dalam hidup bermasyarakat. Sehingga antara keduanya sangat erat hubungannya dengan Etika. Dimana kita selalu diarahkan terhadap suatu pertanyaan yang harus kita jawab, yaitu; “apa yang harus kita perbuat”.
Secara historis, filsafat hukum pada mulanya dipelajari dari perenungan-perenungan yang sifatnya abstrak. Perenungan filosofis ini dirintis olah tokoh filsafat Yunani Kuno.[8] Namun semenjak mulai kuatnya pengaruh bangsa Romawi yang memiliki teks-teks hukumnya serta mulai dibentuknya lembaga-lembaga pendidikan hukum, maka studi tentang hukum juga mulai mengalami perubahan-perubahan, baik secara epistemology maupun metodologis. Lembaga pendidikan itu mulai mampu menciptakan ahli-ahli hukum yang dapat membuat aturan dan menyelesaikan sengketa, yang pada saat itu juga mulai tinggi tingkat intensitasnya, terutama  pada kegiatan perdagangan dan tumbuh kembangnya kota-kota baru di Eropa.




BAB  III  PENUTUP
Kesimpulan
Di dalam studi hukum, dua hal yang harus dikuasai oleh setiap orang yang bergerak di dunia hukum, Ilmu Pengetahuan Hukum dan Ilmu Pengetahuan Non-hukum yang memiliki keterkaitan.
Secara garis besarnya ilmu hukum dapat dijelaskan sebagai pengetahuan mengenai masalah yang bersifat manusiawi, pengetahuan tentang yang benar menurut harkat kemanusiaan. Dapat pula berarti bahwa pengetahuan tentang hukum dalam segala bentuk dan manifestasinya ataukah dapat pula berarti bahwa setiap pemikiran yang teliti dan berbobot mengenai semua tingkat kehidupan hukum.
Dapat pula kita rumuskan bahwa tujuan hukum itu adalah untuk melindungi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, sehingga diharapkan dapat terwujud keadaan aman, tertib dan adil. Kesemuanya ini tentunya dipengaruhi oleh orang-orang dengan bebagai macam teori dan pemikiran mereka di lembaga-lembaga hukum, tempat dimana mereka berkecimpung untuk membuat dan menerapkan hukum.
Bahwa filsafat selalu membawa kita pada sesuatu yang hakikat dan bersifat abstrak, maka di dalam hubungan filsafat dengan hukum akan membawa kita pada berbagai macam proses berpikir yang berkesinambungan sehingga dalm prose itu akan muncul pertanyaan yang harus dijawab dengan pengetahuan hukum. “Apa yang harus kita perbuat berdasarkan hukum ?”.
Daftar  Pustaka
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1999
Cahyadi, Antonius, E.Fernando M.Manullang. Pengantar ke Filsafat Hukum. Jakarta: Kencana,2008 
Dirdjosisworo, Soedjono S.H., Dr.  Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2008
Huijbers, Theo. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1995


[1] Antonius Cahyadi, E.Fernando M.Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta,2008), hal.34-35.
[2] Ibid.
[3] Dr. soedjono Dirdjosisworo SH., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta,2008), hal.15.
[4] Menurut para ahli filsafat,hukum hanya menghendaki keadilan dan hanya itulah pedoman hukum.
[5] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta,1999), hal.18.
[6] Ibid.
[7] Filsuf adalah orang yang berfilsafat dan hidupnya untuk mencari dan mencintai kebijaksanaan
[8] Seperti Aristoteles dan Plato